Rabu, 16 November 2016

Haruskah Prestasi Berprestise?

Belakangan sering bersinggungan dengan kata ‘prestasi’. Diri jadi merasa tertampar : di usia yang cukup jauh, sudah sejauh mana prestasi itu melekat? Sebenarnya, prestasi itu apa sih? motivasinya apa? manfaatnya apa? Well, sepertinya tiap kita punya jawaban yang berbeda..

Menurutku, prestasi itu bisa diraih kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja, dan dalam kondisi bagaimana saja. Ketika kita berhasil bangun lebih pagi, murajaah lebih lancar, setoran lebih banyak, konektivitas belajar lebih tinggi; itu sudah dinamakan prestasi. Atau per harinya tidak menjadi manusia merugi…
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ya, minimal dengan saling berbagi sepercik hikmah, secercah teladan, dan melakukan hal yang bermanfaat; bisa membuat kita berprestasi di setiap harinya.

Namun, mengapa orang harus susah2 merogoh krocek ke sana ke mari untuk keluar negeri? atau harus memeras otak berbanjir keringat untuk memenangkan kompetisi? atau harus memperjuangkan posisi? Nah, ada sesuatu yang dinamakan “social norm”. Kebanyakan orang tidak memandang contoh 'prestasi’ yang disebut di awal sebagai prestasi, kan? Lain halnya dengan prestasi terpandang yang lebih prestige dan dapat memproduksi berbagai apresiasi.

One of 99 persons contingen of IPB for PIMNAS XXIX
*jilbabhijau
Lalu, apa kita perlu yang namanya prestige prikitiw itu? Jadi, para pengemban kewajiban da'wah justru amat memerlukannya. Ada sesuatu yang dinamakan “Self Branding”; bagaimana agar tiap diri terposisikan menjadi orang terpandang, orang yang 'terlihat’. Manusia gitu loh~ masa’ iya ngga terlihat? Langsung contoh kasusnya aja deh..

Contohnya, seperti bahasan ma'had tarbawi kala itu tentang “8 Hikmah Kisah Hidup Nabi Yusuf a.s”. Salah satunya diceritakan.. Setelah Nabi Yusuf cukup lama mendekap di penjara, beliau akhirnya berhasil bebas ketika terbukti tak bersalah. Sang raja kala itu menyadari betapa Yusuf adalah orang bijak (karena takwil mimpi saat tawanan penjara bertanya). 

Langsunglah sang raja menawarkan pilihan posisi pada orang bijak itu. Dan apa yang Yusuf pilih? Bendahara Istana alias Menteri Keuangan. Ngga tanggung2 lho.. Selain karena alasan visioner, posisi strategis, dll; Sang Nabi juga butuh yang namanya self branding untuk mendapatkan posisi prestige. Jadi, corengan 'fitnah dan mantan napi’ yang sempat mengotori namanya bisa hilang seketika.

Kenapa corengan itu harus hilang? agar menjadi terpandang. Lalu setelah terpandang? ia akan banyak memberi pengaruh. Pengaruh. Yap! Kesimpulannya, kita harus selalu berusaha menghasilkan prestasi, baik dalam bidang yang diakui maupun yang kurang diakui. Kalo hasil prestasinya kurang, tekankan poin USAHAnya lah ya~ tentunya dengan sebaik - baik usaha. Keep hamasah!

Ahad, 260415
Pymaisha, di antara rintik hujan pagi @Kota Hujan