Oleh : Prisca Yoko Putri
Tiiiinn
tiiinnn... sebuah angkutan umum dan kendaraan di sekitarnya membunyikan klakson
beberapa kali, memecah lamunan seorang gadis berkrudung putih yang sedang
berjalan tertunduk. “Astaghfirullah!”, ia tersentak dan segera menyingkir dari
tengah jalan.
Suara
lalu – lalang mobil kendaraan begitu riuh di ibukota. Apalagi saat malam di
akhir pekan seperti ini. Di tepian jalan, Putri merasa kebingungan. Ia tidak
tahu bagaimana harus melanjutkan perjalanan karena uang sakunya telah habis tak
tersisa sepeser pun. Saat berangkat dari Bogor, mahasiswi itu nekad memutuskan
untuk pulang dengan 20ribu saja di genggaman. “Seharusnya cukup. Delapan ribu
untuk menaiki dua angkot dari kampus sampai Stasiun Bogor, lalu naik kereta tidak
butuh uang karena sudah dengan kartu multitrip, kemudian dari Stasiun Pasar
Minggu menuju rumah hanya butuh satu angkot sekitar 4ribu. Cukuplah!”, pikirnya.
Ia
tak menyangka kalau di tengah perjalanan, ia begitu membutuhkan air minum dan
sedikit pengganjal perut. Langsung dibelinya saja kebutuhan kecilnya itu tanpa
pikir panjang. Itulah yang akhirnya membuat perhitungan awalnya menjadi kacau.
***
Malam yang semakin larut membuat
tubuh Putri semakin beringsut menahan dingin di atas kursi milik sebuah toko
klontong. Sudah sejam ia menunggu. Sang ayah masih belum bisa dihubungi. Sejauh
mata memandang, pasar di sekitar sudah tutup. Angkot – angkot yang berlalu tak
lupa menyapa dan mempersilahkannya untuk menaikinya, “Udah mau habis, neng. Yuk
berangkat!”. Putri hanya bisa menjawab dengan senyuman miris dan gelengan
kepala. Ia tahu, meski menaiki angkot tak perlu mengeluarkan uang, tetapi
menuruninya harus mengeluarkan uang, bukan?
Tiba – tiba, ia sadar bahwa
layar handphonenya menyala. Ada ikon
telepon yang muncul dengan foto seorang lelaki yang tak asing dalam pikirannya.
Begitu diangkat, “Halo! kenapa dari tadi ditelpon ngga diangkat? Kamu silent lagi? Duh kebiasaan, udah
dibilangin.. Yaudah, sekarang kamu udah di mana?”, terdengar suara tinggi yang
begitu dikenalnya. Ya, ayahnya sedang menyahutnya di sana.
“Mmm.. iya yah maaf. Aku masih
di tempat biasa aku nunggu. Aku kehabisan ongkos..”, ujar Putri perlahan, takut
kalau ‘ledakan’ ayahnya semakin menjadi.
“Apa!? Udah berapa lama kamu
nunggu? Bisa – bisanya kehabisan ongkos! Kenapa ngga bilang? Kenapa ngga
diperhitungkan dengan baik? Masa hal sepele gitu aja kamu ngga ngerti sih?!
Gimana coba! Nih ya, kamu harus dapet suami yang sabar banget kalo ngga mau
di’semprot’ tiap hari karena tingkah kamu yang kekanak – kanakan ini”, pertanyaan
dan pernyataan ayahnya terus saja berentet tanpa sempat dijawabnya.
***
Desir angin malam menyapu wajah
Putri yang menengadah ke langit. Meski langit Jakarta dikenal penuh polusi,
Putri masih bisa melihat beberapa kerlip bintang di sana. Langit telah berubah
dari yang sepuluh tahun silam, ia terus mengembang. Kehidupan Putri pun berubah
seiring dengan harapan – harapannya yang kian ‘mengambang’. Butiran – butiran
air berjatuhan dari mata yang menatap langit malam itu.
Ban motor ayahnya semakin berputar
cepat. Putri menarik ujung jaket yang dipakai ayahnya sebagai pegangan. Meski
kata – kata yang terucap ayahnya seringkali menyayat hati, tetapi Putri tetap menyayangi
ayahnya karena ia tahu bahwa ayahnya begitu mengkhawatirkannya. Namun, masih
ada bagian lain dari hatinya yang belum terisi. Ia merindukan sosok seorang ibu
yang telah lama tidak ditemuinya.
Perpisahan
yang menyerupai perpisahan bumi dan matahari kala itu sungguh mengoyak hatinya.
Ia kehilangan sosok inspirasinya begitu saja, tanpa kesiapan mental sebelumnya.
Padahal, Putri masih banyak membutuhkan pelajaran untuk mengarungi kehidupan
mengingat sosok ibu sebagai madrasatul ula (sekolah/ pendidik pertama dalam
sebuah keluarga). Ia merasa bahwa setidaknya seiring dengan bertambahnya usia,
ia harus semakin beranjak dewasa.
“Ayah,
aku bisa lebih dewasa kok. Ngga Cuma ibu yang bisa mendawasakanku, bahkan Allah
jauh lebih berkuasa. Ya Ayah, atas kehendakNya. Masalah demi masalah menimpa
kita dan itu semua untuk mendewasakan kita, bukan untuk menhancurkan kita.
Tetaplah tegar, Ayah. Aku akan lebih dewasa”, Putri berkata dalam hatinya.
Berharap bahwa pesan itu akan begitu saja sampai pada hati ayahnya.
“Hei,
kamu tidur ya? Kok daritadi diem aja. Biasanya kan kamu cerewet mengomentari
segala hal yang kamu lihat. Putri?”, sang ayah menanyakan kabar Putri karena
sebenarnya ia takut bahwa anaknya telah terlukai oleh kata – katanya.
“Huh?
Iya ayah?”, ujar Putri sambil mengusap linangan air mata di pipinya. “Oh,
mungkin aku agak kelelahan, Yah”, Putri berusaha mempertegas kata – katanya,
jangan sampai ada isak tangis yang terdengar oleh ayahnya.
“Oh,
wajar kalau begitu. Mau beli es krim?”, sang ayah menawarkan makanan kesukaan
Putri.
“Wah,
mau lah..”
“Oke
deh. Sebentar lagi kita akan sampai di minimart”.
Es
krim yang akan dimakan Putri di rumahnya itu tentunya akan membuat tubuhnya
semakin sedingin malam. Namun, ia berharap dinginnya sesuatu yang ia sukai
justru akan semakin menghangatkan hatinya. Selesai.