Kamis, 10 November 2016

Sepi Malam di Kota


Oleh : Prisca Yoko Putri


Tiiiinn tiiinnn... sebuah angkutan umum dan kendaraan di sekitarnya membunyikan klakson beberapa kali, memecah lamunan seorang gadis berkrudung putih yang sedang berjalan tertunduk. “Astaghfirullah!”, ia tersentak dan segera menyingkir dari tengah jalan.
Suara lalu – lalang mobil kendaraan begitu riuh di ibukota. Apalagi saat malam di akhir pekan seperti ini. Di tepian jalan, Putri merasa kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan perjalanan karena uang sakunya telah habis tak tersisa sepeser pun. Saat berangkat dari Bogor, mahasiswi itu nekad memutuskan untuk pulang dengan 20ribu saja di genggaman. “Seharusnya cukup. Delapan ribu untuk menaiki dua angkot dari kampus sampai Stasiun Bogor, lalu naik kereta tidak butuh uang karena sudah dengan kartu multitrip, kemudian dari Stasiun Pasar Minggu menuju rumah hanya butuh satu angkot sekitar 4ribu. Cukuplah!”, pikirnya.
Ia tak menyangka kalau di tengah perjalanan, ia begitu membutuhkan air minum dan sedikit pengganjal perut. Langsung dibelinya saja kebutuhan kecilnya itu tanpa pikir panjang. Itulah yang akhirnya membuat perhitungan awalnya menjadi kacau.
***
                Malam yang semakin larut membuat tubuh Putri semakin beringsut menahan dingin di atas kursi milik sebuah toko klontong. Sudah sejam ia menunggu. Sang ayah masih belum bisa dihubungi. Sejauh mata memandang, pasar di sekitar sudah tutup. Angkot – angkot yang berlalu tak lupa menyapa dan mempersilahkannya untuk menaikinya, “Udah mau habis, neng. Yuk berangkat!”. Putri hanya bisa menjawab dengan senyuman miris dan gelengan kepala. Ia tahu, meski menaiki angkot tak perlu mengeluarkan uang, tetapi menuruninya harus mengeluarkan uang, bukan?
                Tiba – tiba, ia sadar bahwa layar handphonenya menyala. Ada ikon telepon yang muncul dengan foto seorang lelaki yang tak asing dalam pikirannya. Begitu diangkat, “Halo! kenapa dari tadi ditelpon ngga diangkat? Kamu silent lagi? Duh kebiasaan, udah dibilangin.. Yaudah, sekarang kamu udah di mana?”, terdengar suara tinggi yang begitu dikenalnya. Ya, ayahnya sedang menyahutnya di sana.
                “Mmm.. iya yah maaf. Aku masih di tempat biasa aku nunggu. Aku kehabisan ongkos..”, ujar Putri perlahan, takut kalau ‘ledakan’ ayahnya semakin menjadi.
                “Apa!? Udah berapa lama kamu nunggu? Bisa – bisanya kehabisan ongkos! Kenapa ngga bilang? Kenapa ngga diperhitungkan dengan baik? Masa hal sepele gitu aja kamu ngga ngerti sih?! Gimana coba! Nih ya, kamu harus dapet suami yang sabar banget kalo ngga mau di’semprot’ tiap hari karena tingkah kamu yang kekanak – kanakan ini”, pertanyaan dan pernyataan ayahnya terus saja berentet tanpa sempat dijawabnya.
***
                Desir angin malam menyapu wajah Putri yang menengadah ke langit. Meski langit Jakarta dikenal penuh polusi, Putri masih bisa melihat beberapa kerlip bintang di sana. Langit telah berubah dari yang sepuluh tahun silam, ia terus mengembang. Kehidupan Putri pun berubah seiring dengan harapan – harapannya yang kian ‘mengambang’. Butiran – butiran air berjatuhan dari mata yang menatap langit malam itu.
                Ban motor ayahnya semakin berputar cepat. Putri menarik ujung jaket yang dipakai ayahnya sebagai pegangan. Meski kata – kata yang terucap ayahnya seringkali menyayat hati, tetapi Putri tetap menyayangi ayahnya karena ia tahu bahwa ayahnya begitu mengkhawatirkannya. Namun, masih ada bagian lain dari hatinya yang belum terisi. Ia merindukan sosok seorang ibu yang telah lama tidak ditemuinya.
Perpisahan yang menyerupai perpisahan bumi dan matahari kala itu sungguh mengoyak hatinya. Ia kehilangan sosok inspirasinya begitu saja, tanpa kesiapan mental sebelumnya. Padahal, Putri masih banyak membutuhkan pelajaran untuk mengarungi kehidupan mengingat sosok ibu sebagai madrasatul ula (sekolah/ pendidik pertama dalam sebuah keluarga). Ia merasa bahwa setidaknya seiring dengan bertambahnya usia, ia harus semakin beranjak dewasa.
“Ayah, aku bisa lebih dewasa kok. Ngga Cuma ibu yang bisa mendawasakanku, bahkan Allah jauh lebih berkuasa. Ya Ayah, atas kehendakNya. Masalah demi masalah menimpa kita dan itu semua untuk mendewasakan kita, bukan untuk menhancurkan kita. Tetaplah tegar, Ayah. Aku akan lebih dewasa”, Putri berkata dalam hatinya. Berharap bahwa pesan itu akan begitu saja sampai pada hati ayahnya.
“Hei, kamu tidur ya? Kok daritadi diem aja. Biasanya kan kamu cerewet mengomentari segala hal yang kamu lihat. Putri?”, sang ayah menanyakan kabar Putri karena sebenarnya ia takut bahwa anaknya telah terlukai oleh kata – katanya.
“Huh? Iya ayah?”, ujar Putri sambil mengusap linangan air mata di pipinya. “Oh, mungkin aku agak kelelahan, Yah”, Putri berusaha mempertegas kata – katanya, jangan sampai ada isak tangis yang terdengar oleh ayahnya.
“Oh, wajar kalau begitu. Mau beli es krim?”, sang ayah menawarkan makanan kesukaan Putri.
“Wah, mau lah..”
“Oke deh. Sebentar lagi kita akan sampai di minimart”.
Es krim yang akan dimakan Putri di rumahnya itu tentunya akan membuat tubuhnya semakin sedingin malam. Namun, ia berharap dinginnya sesuatu yang ia sukai justru akan semakin menghangatkan hatinya. Selesai.