Sabtu, 29 Oktober 2016

Catatan Si Keio

Tulisan ini sebagai syarat masuk pramuda Forum Lingkar Pena cabang Bogor kala itu. Maksudnya sih cerpen. Setelah belajar apa itu cerpen sebenarnya, ternyata eh ternyata ini bukan termasuk kategori cerpen karena tak ada konflik di dalamnya wkwk. Oiya, mohon maaf kalau nama dalam cerita tidak disamarkan. Mohon maaf juga kalau ada kesamaan cerita dengan yang sebenarnya. Namanya juga penulis pemula, belum ahli "konspirasi" ._.v

#LatePost



Ada apa sih dengan orang Jepang? Caranya menaati aturan, caranya mendidik, caranya tekun belajar, caranya menghargai orang, caranya bersabar mengantri, bahkan caranya duduk, juga caranya mengenakan sepatu. Hampir – hampir semua adab mereka begitu mengagumkan, seperti adab – adab yang sebenarnya banyak dianjurkan dalam Islam. Padahal, kita tahu bahwa jarang dari masyarakat Jepang yang benar – benar memeluk suatu agama. Biasanya, agama hanya dijadikan ritual pernikahan atau kematian. Begitu sih kabar yang sering kudengar.
Betapa kebiasaan baik mereka merupakan suatu warisan yang sangat berharga. Mengingat cara mereka menjalani keseharian, aku jadi ingin bercerita tentang salah seorang Jepang yang pernah kukenal sebelumnya. Aku bertemu dengannya setahun yang lalu, saat aku dan teman – teman mahasiswa semester 6 Institut Pertanian Bogor (IPB) sedang diutus ke berbagai pelosok desa untuk menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama dua bulan. Inilah cuplikan kisahku di sebuah desa bernama Karangmulya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah.
***
“Nah, ini nih. ‘Anak’ Bapak yang udah lama dikangenin akhirnya dateng juga. Namanya Keio. Pernah KKN di sini juga, program dari Six University Initiative Japan – Indonesia (SUIJI). Cuma dua minggu sih, tapi cukup padet dan berkesan”, Pak Kepala Desa (Kades) dengan wajah sumringahnya menggandeng seorang pria seumuran kami bernama Keio dan memperkenalkannya pada kami.
“Wah, selamat datang...”, Nanas dan kami menyambutnya.
Keio membalas senyuman kami dengan lebih lebar, kemudian membungkukkan badan. Saat tersenyum, mata orang Jepang memang seperti menghilang. Namun, caranya membungkukkan badan tidak seperti orang Jepang di televisi yang begitu sempurna seperti gerakan rukuk. Biasa saja kok, baguslah.
“Ini lho. Foto Keio ada di kalender ini. Ada foto mahasiswa anggota SUIJI yang lainnya juga”, terang Pak Kades.
Petang itu, kami berkenalan di antara hiruk pikuk suara pertarungan Naruto melawan gang Akatsuki. Animasi Jepang itu adalah tontonan favorit si Yasfa, anak Pak Kades yang paling kecil.
“Keio, kenalkan. Namaku Prisca”, kataku memulai perkenalan.
“Sebentar – sebentar”, kata Keio yang segera berpaling menuju tasnya, kemudian kembali dengan sebuah pena dan buku notes kecil di genggaman. “Siapa?”, tanyanya dengan posisi pena yang terangkat.
“Mau dicatat?”, tanyaku heran.
“Ya! Biar tidak lupa”, jelasnya dengan logat khas Jepang yang lucu, seperti ada penambahan huruf hamzah di tiap akhir kata.
“Pris-ca”, aku mengeja perlahan.
Namun, dahinya mengerut dan penanya masih belum juga digerakkan.
“Hmm, sini deh...”, aku mengambil alih pena dan buku notesnya, kemudian menuliskan namaku sendiri : p-r-i-s-c-a. Tidak hanya bagi orang Jepang seperti Keio, namaku memang seringkali sulit dieja oleh banyak orang. Jadi, wajarlah.
“Nah, aku Yen-dar. Ini A-fa, yang ini Na-nas”, Yendar memperkenalkan diri, kemudian Afa dan Nanas juga diperkenalkan sambil dirangkul bahunya.
Keio mencatat dengan cepat, tak boleh ada yang tertinggal. “Nanas?”, tanyanya memastikan. Mungkin, ia jadi teringat dengan nama buah.
“Iya, dari Nastuti. Lucu kan?”, jelas Nanas.
“Nah, kalo saya Crisna, ini Herdian, dan itu Iqbal”, Crisna memperkenalkan dengan santai tanpa pengejaan, kemudian berjabat tangan.
“Hai, Keio”, Herdian menyapa sambil menjabat tangan, disusul Iqbal.
Aku sempat membayangkan, seru juga ya jika kita mendata semua nama yang pernah kita temui dalam hidup. Aku jadi penasaran, ada berapa nama ya yang tercantum di notes kecil itu?
***
            “Maaf sudah buat Keio bangun. Pindah dulu ya tidurnya”, kataku dengan membawa semangkuk besar sayur.
            Kuletakkan hidangan sahur tersebut di atas karpet lesehan yang baru saja ditiduri Keio, disusul oleh teman – teman yang membawa sebakul nasi dan peralatan makan lainnya. Sebenarnya, kasur di sini memang kurang cukup dengan adanya kami yang cukup banyak ini. Teman laki – laki kami biasa tidur di ruang tamu dengan selimut dan bantal seadanya, meski suhu udara saat malam sangat dingin. Wajar saja karena ketinggian tempat desa ini mencapai 939 m dpl, termasuk dalam wilayah pegunungan.
            “Masih malam, sudah bangun? Mau makan?”, tanya Keio dengan mata sipit yang semakin disipitkannya.
            Dia ikut sahur bersama kami. Kata Pak Kades, Keio memang biasa ikut – ikutan puasa. Mungkin begitulah caranya menghargai orang di sekelilingnya. Kali ini, ia tak bertanya terkait menu makanan. Ia juga tidak mencatatnya seperti yang ia lakukan saat berbuka puasa kemarin. Mungkin karena ia sudah tahu nama makanan yang terhidang kali ini dan ia juga terlalu mengantuk untuk berpikir.
***
            “Wah, tinggi banget Pohon Cengkeh”, kataku kegirangan setelah Pak Kades menjelaskan.
            Yang lain mungkin heran, aku pun heran, “Sebenarnya jurusan si Prisca ini pertanian bukan sih? Kok apa – apa (jenis - jenis tanaman) baru tahu”. Biasanya aku berdalih bahwa aku tidak mempelajari semua tanaman, ada yang masuk ranah tanaman kehutanan, kan. Lagipula, sebagian besar masa hidupku kan dihabiskan di perkotaan yang jarang ditemui aneka tanaman. Maklumi saja lah.
            Kali ini, lembaran notes Keio dipenuhi nama – nama tanaman dari ladang Pak Kades. Ia sempat bertanya tentang proses penanaman cabai hibrida IPB yang telah kulakukan.
            “Awalnya persemaian lho. In English is pre-nursery, main nursery, transplanting. Tahu?”, jelasku.
            “Tidak tahu. Aku lebih tahu bahasa indonesia daripada inggris”, ia ingin mencatat, tetapi masih butuh penjelasan.
             Kujelaskan saja dengan bahasa isyarat yang ekspresif dengan sedikit kata keterangan. “Benih/biji, tebar – tebar, tumbuh kecil, pindah ke pot besar/ bedeng sebenarnya”.
            Ia sedikit tertawa, kemudian mencatat sepahamnya.
***
Aku juga suka mencatat kejadian – kejadian di tiap harinya secara singkat dan menulis rencana untuk hari berikutnya. Namun, dibandingkan dengan catatan Keio yang sedetail itu tentunya aku masih kalah. Itulah yang membuatku terkesan dengan orang Jepang yang satu ini, yaitu dari caranya menghargai dan mengikat ilmu yang ia temui. Suatu hari, sahabat Rasulullah SAW bernama Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. (Ukh Pymaisha)