Sabtu, 18 Agustus 2012

Misteri Jembatan Gantung (cerpen)


Ini dia secuil imajinasi Prisca Yoko Putri tentang perumpamaan kehidupan dunia... Semoga bermanfaat banget.. Biar berkah, kalo mau bajak izin pengarangnya dulu yah... :D
 Misteri Jembatan Gantung : Menuju Daratan Harapan
Senter dimasukkannya ke dalam tas.
“Tidak, Budi! Senter itu terlalu kecil untuk menerangi jembatan itu. Dahan – dahan tanaman rambat terlalu rapat melilit jembatan itu hingga tidak ada celah bagi sinar mentari untuk menembus. Tidak ada sedikit pun!” jelas Wawan, teman sepermainan Budi yang berdekatan rumahnya.
“Aku sudah mengetahui itu semua, Wan!. Sebaiknya kamu jangan banyak bicara dan masukkan saja semua barang – barang itu!” timpal Budi.
Perjalanan yang akan mereka tempuh bukanlah perjalanan biasa. Ada orang yang melakukan perjalanan ke sana namun mereka tak pernah kembali. Entah terjatuh ke dalam jurang di bawah jembatan atau mungkin terperangkap di daratan seberang. Meskipun demikian, tetap saja masih ada orang yang ingin melakukan perjalanan menuju apa yang sering disebut “Daratan Harapan” itu, termasuk kedua bocah ingusanyang pemberani ini, Budi dan Wawan.
“Kata Kakek Rohman, beliau pernah bekerja di daratan seberang itu. Katanya, lahan di sana sangat subur dan perairannya bagus! Bahkan, beliau bisa panen dalam sekejap dan berkali – kali lipat lebih banyak daripada hasil panen di tanah kita ini”, papar Wawan.
“Kita juga bisa kaya, Di!”.
Hush! salah niat kamu, Wan. Kita hanya ingin menemukan orang – orang yang hilang itu. Dan yang paling penting, kita ingin menolong ibunya Anto untuk menemukan anaknya”.
Budi dan Wawan mengenal Kek Rohman dan Daratan Harapan dari Anto, tetangganya. Kehidupan Anto sangat melarat. Bapaknya telah pergi, ibunya sakit – sakitan, dan ia pun tidak sanggup memenuhi kebutuhan hariannya. Sampai suatu hari, Anto pulang dari perenungannya di Bukit Rasa dengan wajah gembira. Tidak hanya membawa keceriaan, ia membawa berita dari seorang kakek tentang Daratan Harapan. Tempat di mana tidak adanya rasa duka dan penderitaan. Yang ada hanya mimpi yang menjadi kenyataan. Kata Anto, ia akan ke sana dan pulang dengan membawa ‘sesuatu’ untuk kehidupannya dan kehidupan ibunya. Namun, setelah ia pergi sebulan yang lalu, tidak ada yang pernah mendengar kabar tentangnya.
***
Jalan semakin mendaki. Tubuh mereka terasa semakin berat. Tas ransel besar yang dibawa keduanya terasa semakin merepotkan saja. Belum lagi jalan yang berlumpur, membuat langkah mereka semakin berat sekaligus licin.
“Budi, tunggu aku!” teriak Wawan dengan napas terengah – engah. “Ayolah, istirahat dulu. Aku sangat lelah. Sebentar saja…”.
Budi mengernyitkan dahi, kemudian menyetujuinya “Sebentar saja, ya!”.
 Wawan berlari dengan cekatan menuju anak sungai di dekatnya, kemudian segera duduk di tepinya. Ia menaruh barang – barang bawaan dan melepas sepatu gunung yang dikenakannya. Dan dengan rakus, ia meraup air dan meminumnya. Lalu membasahi wajah, tangan, dan kakinya yang penuh peluh.
Sedangkan Budi sejak tadi berdiri di puncak bukit, sibuk menengok ke sana ke sini, menunjuk – nunjuk jalan di bawahnya, dan sesekali melihat peta. Ia berbalik melangkah ke arah Wawan sambil berkata pada dirinya sendiri.
“Menurut peta yang diberikan Anto, rumah Kek Rohman seharusnya di ujung lembah itu. Seharusnya sudah bisa terlihat dari sini”. Ia berpikir,
“Ah! Mungkin mataku sudah minus. Tidak bisa lagi melihat dengan jarak yang terlalu jauh seperti itu”.
“Jangan terlalu serius, Di! Lebih baik…”.
“Sudah selesai kan?”, Budi memotong perkataan Wawan.
“Ayo lanjutkan perjalanan! Kita tak memiliki banyak waktu”.
Setelah melalui puncak bukit, jalan menjadi menurun. Mereka harus pintar – pintar mengerem langkah. Matahari semakin ganas sinarnya, membuat mereka bermandikan peluh.
***
Setelah mereka sampai di sebuah lembah, mereka dikejutkan oleh udara sejuk yang menyambut mereka. Alang – alang dan pepohonan yang rimbun menari diterpa angin. Kicauan burung, kokok ayam, teriakan monyet kecil, dan suara hewan lainnya bersatu menjadi harmoni alam yang indah. Seorang kakek yang bersinar wajahnya dan sejuk pandangannya menghampiri mereka sambil tersenyum.
“Nak, silahkan duduk dan menikmati hidangan di bilik yang sederhana ini”, Kek Rohman menyambut dengan hangat.
“Kemudian setelah kalian membersihkan diri dan shalat, aku akan menemui kalian untuk menjelaskan segala sesuatu”.
***
Kek Rohman mengajak Budi dan Wawan melihat – lihat seluruh daerah tempat tinggalnya. Katanya, hasil sekali panen waktu itu cukup menghidupi dirinya dan semua makhluk indah di tempat tinggalnya ini.
“Wah, bagaimana kakek bisa mengurus semua ini? Sepanjang perjalanan ke sini, kami hanya menemukan hutan yang gundul dan pohon – pohon yang telah habis daun – daunnya. Dan menemukan seekor capung saja, kami sudah termasuk beruntung. Apalagi menemukan beraneka ragam fauna seperti di tempat kakek ini, mungkin aku adalah orang yang paling beruntung di negeri ini”, ujar Wawan mengagumi apa yang dilihatnya.
“Wah, tulisan apa ini?” Budi memperhatikan sebuah batang pohon yang terukir oleh rangkaian kata. Ia merabanya lalu menyingkirkan debu yang menempel padanya. Dengan terbata – bata, ia membaca tulisan bergaya kuno dari abad silam itu.
 Perumpamaan orang yang mengeluarkan harta  di jalanNya bagai menanam sebutir benih yang tumbuh menjadi tujuh tangkai. Tiap tangkai menghasilkan seratus butir. Begitulah dilipatgandakan ganjaran bagi orang yang dikehendakiNya. Yang Maha Luas PemberianNyaMaha Mengetahui. (002261)
Dan sekejap, Budi dan Wawan terkesima karena baru menyadari bahwa di pohon – pohon sekitarnya, juga terukir rangkaian kata, namun dengan isi yang berbeda - beda. Semua tulisan – tulisan itu adalah pedoman Kek Rohman dalam menjalani kehidupannya. Ia mengambil tulisan – tulisan yang indah itu dari sebuah kitab kuno yang muncul sekitar tahun 610 Masehi dan tahun – tahun setelahnya.
Budi dan Wawan kemudian membaca beberapa  kalimat lain di pohon – pohon lain dan berusaha mengingatnya. Siapa tahu dibutuhkan dalam perjalanannya nanti.
***
Setelah bersusah payah menahan rasa lelah, melewati hutan rimba _yang masih bagian dari tempat tinggal Kakek_ dan melalui ladang ilalang, Budi dan Wawan menghentikan langkahnya di suatu tempat. Mematung. Memandang lurus ke depan tanpa berkedip.
Di hadapannya, pohon beringin yang bergantungan akarnya, menjulang dengan gagahnya. Seakan menjaga jembatan gantung gelap di belakangnya. Bukan jembatan biasa. Ia adalah jembatan menuju daratan suci yang agung, Daratan Harapan.
Dengan rasa kagum, takut, gembira, dan gelisah yang menjadi satu, mereka memberanikan langkah mendekati jembatan itu. Jembatan itu selebar tubuh mereka ketika mereka merentangkan kedua tangannya. Di bawahnya, ternganga jurang yang dasarnya tidak terlihat. Di hadapannya, Daratan Harapan tidak terlihat. Selain karena gerombolan awan yang menutupi, juga karena jembatan gantung itu sangat panjang, terlalu jauh untuk memisahkan daratan mereka dengan daratan seberang.
Dengan hati – hati, mereka memegang akar – akar besar yang melilit jembatan itu dan mengibas akar – akar serabut yang menjadi tirai jembatan. Dan dengan basmallah,mereka memulai langkah pertama. Sangat gelap dan tidak ada apa pun. Mereka menyalakan senter besar dan terus melangkah dengan hati – hati. Tiap langkah membuat jembatan itu bergoyang.
***
Setelah mereka sudah mulai jauh menempuh perjalanan di jembatan dan makin terasa lelah, Wawan menggerutu,
“Ah, sangat panjang dan membosankan sekali! Seharusnya aku mengikuti pesta ulang tahun saudara jauhku di Jakarta. Dia sangat kaya!. Pasti di pestanya, akan banyak sekali lampu warna – warni yang menghias rumahnya”.
Tiba – tiba, mereka terkejut bukan kepalang karena tiba – tiba, jembatan itu terang berhiaskan lampu warna – warni. Bunga – bunga dengan berbagai bentuk dan warnanya bermekaran pada lilitan akar jembatan itu. Dan setelah beberapa langkah, mereka bertemu beberapa orang yang sedang menikmati jus segar dan memakan cakesambil berdiri. Seperti sedang merayakan sebuah pesta.
“Ada apa dengan semua ini? Aku sama sekali tidak mengerti!”, Budi mulai panik.
“Aku benar – benar tidak memercayai apa yang ada di hadapanku, Di! Tapi jembatan ini benar – benar sangat ajaib! Setiap aku memikirkan sesuatu, dengan sekejap sesuatu yang aku pikirkan itu muncul di hadapanku!” Wawan meluap – luap dengan bahagia.
Mereka melangkah lagi.
“Oh, semangkuk besar air sirup yang segar! Sebaiknya kita istirahat dan minum dulu, Di!”. Wawan segera menuangkan air sirup itu untuk dirinya dan untuk Budi. Namun Budi dengan wajah gelisah, mantap menggelengkan kepalanya.
“Kita harus melanjutkan perjalanan kita, Wan!”
“Apa yang kamu khawatirkan, Budi? Kita sama – sama mengetahui bahwa jembatan ini akan  mengantarkan kita ke Daratan Harapan. Sudah tentu ini bukan jembatan biasa! Jembatan ini akan sama ajaibnya dengan Daratan Harapan”.
Budi menghiraukan Wawan dan segera berlalu.
“Allahu akbar! Wan, cepat kemari! Aku menemukan Anto!”.
Wawan segera menghampiri. Bukannya senang, ia malah menatap Anto dengan rasa prihatin.
“Apa ini benar dirimu, Anto?”
“Tentu saja! Mengapa kamu bisa tak percaya?” jawab Anto dengan wajah yang gembira dan dengan mulut yang penuh makanan.
Meski Anto sedang makan banyak, tubuhnya bagai tinggal kulit membalut tulang. Anto jauh lebih kurus daripada yang pernah terlihat sebelumnya.
“Aku akan membawa semua makanan ini kepada ibuku. Tapi sebelumnya, aku harus mencicipi semuanya. Memastikan bahwa makanan yang akan aku bawa benar – benar enak. Aku juga akan membawa emas – emas ini. Pasti ibuku sangat senang”.
***
Sementara Wawan asyik mengobrol dengan Anto, Budi melangkah menjauhi Wawan. Melihat – lihat yang lain. Dilihatnya seorang lelaki tua yang pernah ia temui sebelumnya. Lelaki tua itu adalah penjual bunga di desa tetangga. Ia sedang mencoba menyilang – nyilang bunga yang satu dengan bunga yang lain. Dan dalam sekejap, bunga hasil persilangan itu langsung tumbuh. Wajah lelaki tua itu sangat senang. Budi tidak ingin mengganggunya.
Dan setelah melangkah lagi, Budi menemukan ibunya yang memakai baju kebaya yang sering dipakainya, sedang duduk dan menyisir rambut panjangnya.
“Ibu! Subhanallah… Oh, ibu… jadi selama ini engkau di sini? Apa yang kau lakukan?”.
Budi segera duduk dan memeluk ibunya. Ia menitikkan air matanya. Sang ibu menyuruhnya tidur di pangkuannya. Kemudian dengan lembut, sang ibu membelai rambut Budi. Budi tenggelam dalam kerinduannya yang meluap – luap. Tiba – tiba,
“Budi, bangun! Dia bukan ibumu!”, teriak Wawan mengusik ketenangan.
“Ibumu telah tiada sejak setahun yang lalu dan kamu sendiri yang menyaksikannya. Ingatkah?”
“Teganya kamu mengatakan hal itu di depan ibuku, Wan!”
“Ibumu itu bisa saja muncul karena kau memikirkannya, Di! Sadarlah! Aku mulai mencurigai tempat ini setelah Anto mengatakan bahwa ia baru tadi pagi sampai di jembatan ini. Padahal, dia telah hilang sebulan, Di!. Jembatan ini hanya ingin mempermainkan kita”.
“Astaghfirullah!” Budi segera bangkit karena terkejut dan mulai menyadari apa yang terjadi.
Seketika itu pula, jembatan gantung bergoyang dengan hebat. Lampu – lampu nyala – redup. Semua orang yang muncul dari pikiran Budi dan Wawan, mendadak berubah menjadi roh – roh jahat yang buruk rupa dan murka. Anto terbelalak melihat makanan di hadapannya berubah menjadi belatung – belatung kecil dan daging – daging busuk yang penuh lalat. Wawan juga kaget karena sirup yang dipegangnya berubah menjadi darah. Dan perhiasan yang dikumpulkan Anto menjadi bara – bara api
 “Astaghfirullah, cepat! Kita harus pergi dari tempat terkutuk ini!” Wawan berlari menggandeng Anto.
“Tunggu aku! Bantu aku membopong lelaki tua ini! Ia pingsan”.
Wawan dan Anto segera lari menghampiri dan Wawan membantu Budi membopong. Anto memegang senter dan terus melangkah meski dengan tertatih – tatih karena lemasnya.
“Ayo cepat kawan! Jembatan ini sepertinya akan segera runtuh dan bisa – bisa kita terjun ke dalam jurang!”.
***
Jembatan itu benar – benar sangat panjang. Dan ketakutan terus mengejar mereka yang makin lelah.
“Aku pusing, lelah, dan tidak kuat berjalan lagi”.
“Tidak, Anto. Kamu pasti bisa! Semangatlah demi ibumu!”, Budi menyemangati.
Mereka terus berlari dan berusaha tidak mengeluh. Budi yang tangan kirinya telah terluka – luka karena tergores akar – akar tajam yang menjuntai di sampingnya, tetap terus menyemangati Anto. Dan Wawan yang kepalanya sakit karena sering terbanting keras ke batang – batang keras di sampingnya, juga hanya diam tanpa suara. Jembatan itu sangat mengamuk karena rahasia jembatan itu telah terbongkar.
“Kawan, lihatlah ke depan! Ada secercah cahaya! itu jalan keluarnya!” teriak Wawan.
“Cepaat!”
Mereka dengan kuat memegang tirai akar serabut.
“Aaaaaaa…”, Wawan berteriak karena di bawahnya hanya ada awan, pasti dasarnya sangat jauh di bawah sana.
“Jangan dilihat, Wan! Coba saja kamu melangkah! Kek rohman bilang, ini adalah daratan harapan. Pasti tidak akan terjadi apa – apa”, kata Budi.
“Setelah semua yang terjadi, kamu masih percaya dengan Kek rohman? Masih percaya bahwa Daratan Harapan itu memang penuh harapan?”
“Kalau kamu tidak mau, biar aku saja yang turun. Tolong bopong bapak ini”, Budi memberanikan diri.
Sebenarnya Budi ketakutan, tetapi karena daratan itu yang menjadi satu – satunya harapan dan lebih baik daripada tetap di jembatan yang memuakkan itu, ia harus bisa.
“Aku sama sekali tidak akan peduli kalau kamu berteriak minta tolong saat kamu terjun menuju jurang yang dalam ini”, Wawan menegaskan.
Budi menerjunkan diri.
“Budiiiiiii….!” teriak Wawan dan Anto.
“Oh, tidak. Bagaimana bisa sahabat terbaikku pergi secepat ini?”, Wawan menyesal.
Wawan larut dalam kesedihannya. Anto pun telah putus asa diombang – ambing ketidakpastian
”Aku juga tak tahu bagaimana nasib kita sekarang… Oh, Budiii..”, keluh Wawan.
“Wawan, cepat turunkan bapak itu!” teriak Budi.
“Anto, bahkan suara Budi masih terngiang – ngiang di telingaku…”
“Hey… di bawah sini!”, Budi melambaikan tangannya.
Wawan sangat  terkejut dan senang karena Budi hanya berjarak tiga meter saja darinya
 “Ayo, cepatlah! Dan jangan khawatir! jika bapak itu tidak dapat kutangkap, awan – awan yang sangat lembut dan empuk ini yang akan menangkapnya”.
Bapak itu diturunkannya, dilanjutkan dengan turunnya Anto kemudian Wawan. Rasa tenang dan damai bertahta di hati mereka masing – masing. Sejuknya udara dan lembutnya awan yang mereka injak, membuat senyum tersimpul dengan mudahnya.
            Dan setelah melalui awan – awan, mereka sangat kagum melihat apa yang di hadapannya. Taman bunga terhampar luas, harumnya mengundang kupu – kupu cantik untuk mendatanginya. Lekuk – lekuk anak sungai di antara bunga begitu indah, jernih bagai kristal. Langit yang mendamaikan hati dan gunung _pertanda terdapat hutan_ yang menjulang menjadi background yang serasi.
***
Mereka merasa sudah terlelap di atas rerumputan dalam waktu yang lama. Namun saat mereka semua membuka mata, langit masih cerah.
Namun mereka tetap harus segera pulang. Dan sebelum menaiki jembatan itu lagi, Budi mengingatkan sebuah kalimat ukir yang pernah dibacanya.
Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan. Perhiasan dan bermegah – megahan di antara kalian serta berbangga – banggakan dengan banyaknya harta dan anak. Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. (05720)
“Seperti perumpamaan. Jembatan ini adalah kehidupan dunia dan Daratan Harapan adalah akhirat yang kekal kebahagiaannya”, jelas Budi dengan bijak.
Mereka memasuki jembatan dan yang ada hanya gelap. Semua senter dinyalakan. Mereka berjalan dengan tergesa – gesa. Meskipun bapak penjual bunga masih belum tahu apa yang menimpanya, ia tetap berjalan dengan pasti mengikuti yang lain.
Tak terasa, cahaya dari pintu keluar sudah terlihat tetapi tidak ada apa – apa yang terjadi.
“Beberapa langkah lagi, kita akan bebas. Sekarang, bolehkah aku mengharap sesuatu?”. Wawan mulai jahil.
“Aku ingin semangkuk es krim!”.
Namun, tidak ada yang terjadi. Bahkan Anto mengaku bahwa sebenarnya ia juga telah banyak berandai – andai dari awal.
Akhirnya mereka sampai di daratan mereka sendiri.
“Kawan – kawan, ayo kita kunjungi rumah Kek Rohman. Kita harus berterima kasih padanya”, ajak Budi.
***
Hutan rimba Kek Rohman tetap memancarkan kesejukkannya. Binatang – binatangnya pun tetap banyak dan hidup bebas di sana. Tetapi ukiran – ukiran di pohon sudah tidak ada dan Kek Rohman pun tidak mereka temui. Yang mereka temui hanya sebuah tim penebang pohon yang biasa menebang pohon – pohon di balik bukit ini. Karena di balik bukit telah gundul, mereka menjamah daerah ini.
“Hey, Pak! Bagaimana engkau bisa seenaknya begini menebang pohon. Apa pemiliknya mengizinkanmu?”, Wawan memprotes.
“Maaf Dik, pemilik yang mana ya?”, sang bapak kebingungan.
“Kek Rohman! Masa’ tidak tahu?”
“Sejak dahulu, tidak pernah ada pemilik tempat ini”.
“Aduh… Bapak saja yang tidak tahu. Kamilah yang mengenal pemiliknya. Namun, baiklah jika menurut Bapak tak ada pemiliknya. Tapi Pak, Bapak tahu apa yang akan terjadi pada binatang – binatang ini jika habitatnya dimusnahkan?. Tolong pikirkan nasib mereka, Pak!”, Budi menegaskan.
“Kamu tidak tahu apa – apa, Dik. Tolong jangan halangi kami”.
Setelah terjadi perdebatan yang lumayan hebat, penebang pohon akhirnya tidak jadi menebang pohon. Benar juga. Binatang – binatang yang tinggal itu terlalu indah untuk diusik keberadaannya.
***
Para bocah petualang itu pulang dengan wajah keheranan dan dengan pikiran yang berkecamuk. Jejak Kek Rohman benar – benar tidak ditemukan. Selain itu, mereka bingung dengan sikap jembatan yang mendadak berubah menjadi jembatan biasa saat mereka kembali.
 Namun, mereka lebih tenang karena akhirnya bisa sampai di tempat asalnya. Banyak sekali pelajaran yang dapat mereka ambil dari perjalanan itu.
Anto disambut ibunya yang berlari dari kejauhan,
“Anakku, setelah dua bulan, akhirnya kau kembaliii”.
Air mata membanjiri wajahnya.


SELESAI
Nama Budi, Wawan, dan Anto adalah ciri khas nama - nama anak indonesia. Nama -nama itu kupakai untuk menunjukkan bahwa kita juga bisa berfantasi... ^o^