Senin, 29 Agustus 2016

Inovasi Cinta Pangan Lokal di Desa Giyanti, Magelang untuk Mencapai Kemandirian & Ketahanan Pangan



 Gambar saat survey penggalian potensi pangan lokal
(dok. pribadi)

Teman-teman, tahukah kamu?

Program penganekaragaman pangan sebenarnya telah dirintis oleh pemerintah sejak era 60-an. Namun, sampai saat ini belum berhasil sesuai yang diharapkan. Salah satu hambatannya adalah semakin rendahnya kesadaran dan kesukaan masyarakat untuk mengonsumsi pangan lokal yang beragam.

Ketergantungan masyarakat terhadap beras dan terigu yang semakin meningkat, ditambah semakin meningkatnya jumlah penduduk dari waktu ke waktu. Itulah yang membuat pemerintah terus melakukan kebijakan impor untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya.

Bayangkan saja bila impor tersebut terus berlanjut, tentunya hal itu dapat mengancam ketahanan dan kemandirian pangan nasional. Padahal, Bapak Ir. Soekarno pernah memperingatkan, ”Ketersediaan pangan oleh bangsa sendiri adalah soal hidup atau matinya suatu bangsa. Jika pangan suatu bangsa benar-benar tergantung dari bangsa lain, maka tunggulah kehancuran bangsa itu.” Mengerikan sekali, bukan?

Melihat kenyataan itu, kami sekelompok mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) yang cinta akan pertanian dan pangan lokal tergerak untuk melakukan gerakan cinta pangan lokal yang dinamakan “Blusukan Pangan.” Tim kami merupakan tim yang cukup solid dan unik. Mengapa unik? Karena kami terdiri dari disiplin ilmu yang berbeda-beda dengan pengetahuan dan keterampilan yang berbeda-beda pula. Ada Indah Widia Ningsih (Gizi Masyarakat), Abdul Aziz (Teknologi Pangan), Crisna Murti (Ilmu Keluarga dan Konsumen), Dika Rahmat Saepulloh (Fisika), serta Prisca Yoko Putri (Agronomi dan Hortikultura).

Foto kelompok mahasiswa pengabdian masyarakat
(dok. pribadi)

Di awal program, kami melakukan penggalian potensi pangan lokal melalui survei lapang dan in-depth interview kepada sesepuh desa. Ternyata, Desa Giyanti memiliki potensi sumberdaya pangan lokal yang cukup beragam dan belum banyak termanfaatkan. Terdapat kimpul, midro (ganyong), merot (garut), suweg, dan lain-lain. Selain itu, masyarakatnya masih memiliki ingatan yang baik terhadap rasa pangan lokal yang beragam sehingga lebih mudah bagi kami untuk mengembalikan preferensinya.
Berbagai potensi tanaman pangan lokal
(dok. pribadi)



Nah, hasil penggalian potensi pangan lokal tersebut kami kumpulkan. Selanjutnya, kami melakukan pencarian informasi terkait Pedoman Gizi Seimbang, khasiat berbagai bahan pangan lokal yang kami temui, juga contoh menu makanan berbasis bahan lokal.

 Setelah melalui proses diskusi yang cukup rumit, kami berhasil mengkreasikan aneka resep pangan lokal yang unik dan mengemasnya dalam modul cantik bernama “Kembang Krisan” (kreasi masakan ibu-ibu peduli pangan lokal nusantara). Modul ini kami gunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan program. Target kami adalah ibu-ibu yang tergabung dalam Program Kesejahteraan Keluarga (PKK) karena keaktifannya, interaksi sosialnya yang tinggi, dan terbiasanya mengolah pangan sendiri (tidak membeli instan) dalam rumah tangga.

Salah satu menu alternatif sarapan pagi dengan pizza sitosa (pizza singkong topping sayuran)
(dok. pribadi)

Program diawali dengan pembukaan secara resmi oleh Kepala Desa Giyanti, Bapak Khusen, pada 10 April 2016. Selanjutnya, dilakukan pendampingan memasak pangan berbasis bahan lokal sebanyak tujuh pertemuan. Setelah itu, diadakan pembagian dan simulasi penanaman bibit pangan lokal di pekarangan. Pembagian bibit pangan lokal ini kami harapkan dapat memotivasi masyarakat untuk terus mempertahankan ketersediaan dan melestarikan tanaman pangan lokal. Berdasarkan hasil evaluasi pasca-program, peserta mengalami peningkatan baik dari segi pengetahuan, sikap, maupun praktik dalam mengonsumsi pangan lokal yang beragam.

 Penutupan program diselenggarakan pada 12 Juni 2016 lalu. Dilaksanakan lomba memasak pangan lokal yang hasil kreasi masakannya dicicipi oleh Kepala Desa Giyanti, perwakilan Balai Penyuluhan Pertanian & Kehutanan (BPPK) Kecamatan Candimulyo, dan tokoh masyarakat lainnya.

 “Kami sangat mengapresiasi kehadiran adik-adik mahasiswa IPB yang memberikan ilmu dan melakukan kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan seperti ini perlu dilestarikan agar masyarakat kembali mencintai dan mengonsumsi pangan lokal yang telah lama ditinggalkan,” ujar Bapak Hafidz selaku perwakilan BPPK.

Inilah persembahan terbaik kami dalam melakukan inovasi daerah. Semoga apa yang kami lakukan dapat menuai keberkahan, bermanfaat, dapat diterapkan di berbagai wilayah di Indonesia, serta dapat mendukung ketahanan dan kemandirian pangan di negeri tercinta.

Kami telah mengerti bahwa sejatinya, membina masyarakat juga berarti membina diri menjadi sebaik-baik versi. Kami menyadari bahwa persoalan negeri sungguh banyak sekali. Lakukan perubahan dan jadilah berarti! Mari mulai dari saat ini atau tidak sama sekali!

Foto bersama ibu - ibu PKK Desa Giyanti
(dok. pribadi)


Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku